Berdikari Di Era Reformasi ( Eps. Petani )


Berdikari Di Era Reformasi ( Eps. Petani )
          Beberapa hari yang lalu, kita dikejutkan dengan pemberitaan kenaikan harga bawang yang melonjak sangat tinggi. Mengapa tidak, harga bawang yang tadinya berkisar Rp. 20.000/kg, tidak lebih dalam jangka waktu sebulan tiba-tiba melonjak hampir lebih Rp. 80.000 bahkan ada pula yang mendekati Rp. 100.000/kg. hal ini tentu menjadi pertanyaan besar bagi kita sebagai rakyat indonesia. Hidup di negeri yang subur dan merupakan negeri agraris maritim yang kaya akan rempah-rempah dan hasil bumi lainnya, ternyata sampai saat ini indonesia masih belum mampu untuk mencukupi beberapa komoditas pangan dan rempah-rempah yang notabennya merupakan kebutuhan dasar masyarakat.
          Bagi kalangan tertentu, kenaikan harga bawang ini malah dijadikan sebagai momen untuk meraup untung sebesar-besarnya. Pemerintah sendiri menduga, kenaikan harga bawang ini merupakan permainan dari para importir dan tengkulak bawang yang sengaja menimbun persediaan bawang agar harga bawang naik karena kelangkaan yang ada dipasaran. Pemerintah mencatat, persediaan bawang telah mencukupi dan impor bawang yang dilakukan pemerintah dari luar negeri khususnya China tidak terdapat kendala sedikitpun.
Namun, mengapa bawang tetap langka dipasaran..??
Dalam beberapa kesempatan saat ditanya oleh para pewarta berita, pemerintah selalu menjawab kelangkaan ini adalah akibat adanya sedikit masalah pada pendistribusian bawang yang di impor.
Tetapi kenapa bawang impor yang di masalahkan.?
Inilah yang seharusnya kita resapi bersama. Dalam catatan yang pernah saya lihat dalam grafis media tv, ternyata semenjak era reformasi 1998 pemenuhan kebutuhan komoditas bawang yang dihasilkan oleh indonesia malah semakin menurun. Malahan dari 500.000 ton kebutuhan bawang dalam negeri hampir sebagian besar atau ratusan ton dipenuhi melalui impor bawang dari luar negeri. Inilah kemudian yang menjadi sebuah ironi bagi negeri subur dan kaya raya ini. Dengan modal yang telah tuhan berikan terhadap tanah indonesia, seharusnya pemerintah sudah mampu dan wajib memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri dengan hasil yang diperoleh dari dalam negeri juga.
Kebijakan pemerintah yang salah dan tak memihak kalangan dasar produsen pangan khususnya petani dan ditambah dengan semakin berkurangnya lahan buat bertani, membuat sampai sekrang bangsa ini terus kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri. Saat ini saja, indonesia sudah banyak mengimpor kebutuhan-kebutuhan pangan dari luar negeri, mulai dari padi, bawang, garam, gandum, cabai dll. Mau sampai kapan, APBN (anggaran pengeluaran dan belanja negara) habis di gunakan untuk melakukan impor yang malah mensejahterakan penduduk negara yang jadi pengekspor ke indonesia.
Kejadian seperti tidak pernah menjadi pelajaran buat pemerintah. Mengapa sangat begitu tak terpikirkan, indonesia yang sejak jaman kerajaan dahulu di kenal sebagai penghasil kebutuhan dasar pangan malah saat ini kekurangan kebutuhan dasar pangan. Dimanakah hasil pembelajaran para pendahulu kita yang mengajarkan untuk menghasilkan produk dari hasil bumi sendiri bukan malah sedikit sedikit melakukan impor. Seharusnya pembangunan yang menjadi prioritas utama bangsa ini adalah pertanian (termasuk hasil rempah-rempah). Tetapi yang terjadi saat ini malah sebaliknya, industri lah yang menjadi prioritas utama tahap pembangunan yang dilakukan pemerintah, padahal pondasi sesungguhnya pembangunan indonesia titik awalnya adalah PERTANIAN.
Lagi lagi dengan akibat kelangkaan salah satu komoditas rempah-rempah (bawang) yang terjadi saat ini. Yang menjadi korban utama dan pihak paling merugi adalah petani bawang. Para petani baik petani rempah-rempah ataupun palawija saat ini sudah tidak lagi mendapatkan kesejahteraan ataupun menjadi prioritas utama pemerintah dalam membangun bangsa. Petani yang dahulu merupakan suatu pekerjaan yang paling vital dalam pembangunan, sekarang sudah menjadi pekerjaan yang di abaikan, bahkan jika di survei, hampir sebagian besar generasi penerus bangsa ini sudah tidak lagi ingin menjadi petani. Mereka (penerus bangsa) lebih bangga menjadi pegawai kantoran atau pekerjaan yang tidak berbau menanam (bertani).
Bagaimakah kelanjutan bangsa ini jika generasi penerus bangsanya saja sudah enggan untuk bekerja sebagai petani, padahal mereka hidup di negeri agraris.?
Sudah saatnya pemerintah mengubah pemikiran, tidak lagi menjadikan petani sebagai anak tiri dalam pembangunan, tetapi jadikanlah petani +  nelayan sebagai ujung tombak pembangunan bangsa agraris dan maritim ini. Sudah waktunya para pekerja yang ada dalam pondasi pembangunan bangsa ini untuk segera di naikan derajat dan kesejahteraannya. Tidak berkata lagi industri sebagai ujunga tombak pembangunan, tetapi PERTANIAN menjadi ujung tombak pertanian.
Buatlah aturan-aturan yang memihak pada petani. Berdikarikan para pekerja pondasi pembangunan ini, jangan persulit mereka untuk bangkit berdiri dengan langtang di tengah-tengah kemajuan global sekarang. Manfaatkan teknologi, lakukan banyak riset dan pengembangan kemajuan teknologi untuk memperoleh hasil pertanian yang maximal. Masyarakat sudah sangat lelah dengan kondisi seperti ini. Malu mungkin malu, apalagi terhadap negara seperti vietnam, thailand, malaysia. Mereka (vietnam, thailand, malaysia) yang dahulu banyak belajar pertanian bahkan mengimpor pengajar pertanian dari indonesia, malah sekarang mereka jadi pengekspor pertanian bagi indonesia.